Rerasan Sepedaan

December 23, 2019






BROMPTON ATAU BROMNOT, AYO GOBAR!



           “Waiki, Bromptonnya baruuu,” begitu celetukan terdengar di sebuah warung Ayam Geprek. Entah kenapa, tubuh saya refleks berputar mencari arah suara. Lalu, saya melihat Sepeda Lipat yang rupanya bukan bermerk yang dimaksud oleh suara samar itu. Nyengir deh saya. Ketipu. Seperti kelatahan khas masyarakat kita yang hobi menyebut barang dengan merk popular. Menyebut Honda untuk sepeda motor, meski motornya adalah Kawasaki, Yamaha, atau Suzuki. Beberapa waktu lalu merk Sepeda Lipat Brompton sedang menjadi obrolan di linimasa  medsos, juga media cetak. Tiba-tiba semua orang kenal dengan Sepeda Lipat itu. Warganet akhirnya tahu, riwayat orang nomor satu di perusahaan plat merah itu harus usai. Motor bermerk Harley Davidson yang semula dianggap sparepart  ternyata built in. Lalu ditemukan pula dua sepeda merk Brompton edisi Explorer yang belum lama ini diluncurkan di London, menjadi barang bukti penyelundupan.

             Saya tidak akan mengulas kasus itu. Tapi hanya akan bercerita tentang “bawaan” menarik dari kacamata seorang awam yang bersepeda, dan kebetulan kasus itu telah membuat Brompton semakin hype. Di kalangan pesepeda atau goweser, terutama Sepeda Lipat, Brompton bukanlah merk yang asing. Kala bersepeda masih tak memandang harga atau merk, suasananya amat menyenangkan. Sehat dapat, persaudaraan makin erat, dengkul pun jadi kuat. Beberapa hari ini pula ada obrolan-obrolan kecil yang muncul antara saya dengan beberapa teman tentang ghirah-nya pesepeda beberapa tahun ke belakang. Ternyata ada yang rindu masa-masa ketika para pesepeda berkumpul dalam suatu acara, bersatu padu. Tanpa bertanya “sepedamu apa?”. Lalu, sekitar tahun 2004 mulai ada kisah pesepeda yang bisa ikut naik MRT dengan cara dilipat. Dan pemandangan ini semakin banyak ditemui, tak hanya di MRT Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Acara sepeda bersama semakin gencar, kemudahan membawa sepeda semakin luas. 

             Melihat pasar Sepeda Lipat semakin besar, perusahaan lokal seperti Polygon, Wimcycle dan United Bike ikut bermain dengan merk dan kelebihan masing-masing. Semakin ramai peminat, semakin beragam merk tentunya. Dibanding 3 tahun lalu, merk baru di jagad persepedaan sudah bermunculan. Dari sekian merk, hanya satu yang terkadang masih menjadi impiansebagian besar pesepeda, yaitu Brompton. Tidak semua, tetapi banyak! Dari segi harga dan keunikan serta keringkasan dalam lipatan menjadi pertimbangan seseorang untuk meminang sepeda ini. Sebenarnya jika mau jujur, ada yang lebih mahal dari Brompton. Sebut saja Alex Moulton. Sama-sama dari Inggris, tetapi dengan karakteristik berbeda. Alex Moulton konon sepeda yang dirakit dengan tangan. Dalam artian pengerjaannya benar-benar handmade. Merk ini memang hanya kalangan goweser yang tahu karena bagi lifestyle orang kita kurang ‘lucu’ dan ‘imut’.

             Maret 2019 lalu, Will Butler-Adams, CEO Brompton, berkunjung ke Indonesia. Di Jakarta ia sempatkan bersepeda bersama 700 pengguna sepeda Brompton.  Antusiasme masyarakat Indonesia sangat tinggi dan ini  tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Indonesia menjadi pasar tertinggi dalam 3 tahun terakhir untuk  Brompton. Sepeda lipat paling ringkas yang diimpor langsung dari Inggris ini tentu saja membuat harganya menjulang tinggi. Bisa jadi, agar tak kena bea masuk dan pajak, 2 unit Brompton lengkap dengan aksesorinya nyelip di pesawat Garuda secara senyap.

             Apakah ada ekses lain selain Brompton menjadi lebih dikenal? Jelas ada! Mata maling spesialis sepeda kini tahu mana yang layak dicuri. Bisa jadi lebih mudah mencuri sepeda Brompton daripada sepeda motor yang lebih banyak ketahuannya dan berakhir dihakimi massa. Maka, berhati-hatilah wahai pemilik sepeda Brompton! Ancaman si panjang tangan serta rumor masuknya Brompton dalam SPT tahunan di 2020.  Efek lainnya, harga seken Brompton kian melangit! Ini sebuah keresahan ‘kecil’, yang ternyata diikuti pula dengan kelucuan orisinilnya. Dari stiker bertulisan merk lain yang memiliki segi lipatan mirip dengan Brompton, sampai pada stiker bertulis ‘Ini Brompton KW’ , hingga stiker iklan sedot WC yang menutup merk mentereng itu iseng dibuat untuk melindungi miliknya. Inilah ciri masyarakat kita, setiap celah bisa buat tertawa.Tapi apakah semua pecandu Brompton akan tega menempel stiker selain itu? Saya rasa kok tidak, karena merk ini sudah menjadi identitas ‘kasta’ dan ‘gaya’.  Apalagi saat ini banyak pejabat dan selebriti memiliki sepeda ini. Wah, makin elit. Tetapi di lingkaran pesepeda, Brompton tetaplah Sepeda Lipat yang bisa digenjot sejauh mana kakimu mampu. Turunan melaju, tanjakan tak malu. Tidak berubah.

             Cerita Brompton sebenarnya tak hanya seputar harga dan prestisnya. Prestasi yang belum lama dicatat oleh tim pesepeda asal Indonesia yang berjaya di Paris, Prancis. Adalah Hendriyanto Wijaya dan Sandi Adila yang berhasil menempuh jarak 1.200 km dalam waktu 82 Jam 53 menit, di ajang Paris-Breist-Paris, Agustus lalu. Even endurance besutan Audax Club Parisen ini mereka hadapi dengan Brompton. Salah satu cerita saja, bahwa Sepeda Lipat kini tak hanya untuk citybike atau sekadar komuter, dan itu mumpuni.

             Lifestyle. Istilah yang semakin sering kita dengar. Lifestyle untuk sehat jelas bagus. Apalagi bagi generasi modern yang mudah ‘mager’ alias malas gerak. Bagaimana tidak mager, mau jajan saja cukup sentuh telpon pintar dan pesan antar makanan apa yang disuka? Nah, gaya hidup baru saat ini adalah bersepeda. Saya salah satu yang ikut gembira dengan kegemaran baru itu. Meskipun sedih juga karena gerakan moral yang sering kami lakukan untuk mengembalikan jalur lambat dan menuntut jalur sepeda belum sepenuhnya terpenuhi. Hanya saja fenomena gaya hidup bersepeda ini diikuti oleh prestise karena merk dan harga sepeda yang dipakai. Akhirnya menjadi sehat yang ‘tertunda’. Tak ada yang salah memang, jika ternyata seseorang hanya mengenal merk Brompton dan menjadi fans beratnya kemudian beralih menjadi kolektor. Toh dia memang mampu untuk itu. Tetapi ketika melaju di permukaan aspal, tetaplah dengkul dan uluk salam yang menjadi andalan para pesepeda. Tidak lain!

             Semangat bersepeda sebenarnya tak lagi sekedar lifestyle. Kebutuhan akan sehat, mengurangi kemacetan dan memunculkan keriaan ketika di atas sadel adalah hal pentingyang perlu dicapai.  Masih ingatkah para serombongan anak sekolah yang memenuhi jalan bersepeda bersama teman, tertawa riang? Buruh perempuan berduyun-duyun pulang naik sepeda selepas jam kerja, dengan suka cita. Masyarakat kita, pernah punya gaya hidup seperti itu. Bersepeda kemana saja. Mindset sepeda bukan lagi barang mewah membuat impian sebagian masyarakat bergeser. Motor dan mobil menjadi idaman. Tapi bergulirnya kabar tentang harga sepeda yang satu ini, yang konon mencapai 50 juta lebih, masyarakat ternganga. Jadi impian baru? Bisa jadi. Ketika sedang hype mungkin ada seorang petinggi yang mimpi punya sepeda. Ajudannya mendapat tugas mencari sepeda yang cocok dengan kedudukan si bos. Omong punya omong, yang penting sepeda mahal dan bisa dilipat, Brompton jawabnya. Bisa jadi si petinggi itu tak paham bahkan merknya pun ia tak pikir. Yang penting mahal dan cantik di pajang di kantor.  Nah, sebenarnya yang paling penting dibutuhkan ketika bersepeda cuma satu; niat. Ketika niat datang apapun akan terwujud. Termasuk ketika niat mau beli Brompton, tak perlu jauh-jauh ke Singapura seperti dulu.

             Lepas dari itu semua, suasana keakraban ketika ‘gobar’ atau gowes bersama adalah keriaan pada finish bersama, makan soto, dan teh hangat. Semua merk sepeda berbaur di depan warung. Merk apapun sepedanya, makan soto semangkok tetap bayar 8 ribu, teh panas 2 ribu, parkir gratis. Apapun merk sepedamu, gowes bersama itulah yang kami rindu. Brompton atau Brompnot, tetaplah properti yang instagramable...

                                                                                                                                   Gangnam, 09/12/19
            
Yessita Dewi
Goweser dan penulis cerita


                                               


You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook