Bersepeda Naik Gethek

December 31, 2018





                                       POLOKARTO SISI SELAIN ALAS KARET


     Beberapa waktu lalu tepatnya 25 November 2018 rencana perjalanan bersepeda kali ini menuju Polokarto, dan finish di Cafe Minarets, Polokarto. Dengan beberapa teman yang sudah siap di titik kumpul yang kali ini di depan gedung Bank Indonesia, kami berangkat jam 07.00 wib. Kok siang ya? iya, ketika itu di Gladag sedang ada kegiatan organisasi massa yang cukup membuat padat dan tidak mungkin menyibak barisan rapat mereka. Jadi biar aman, kami menunggu longmarch mereka melintas tuntas.

Awal perjalanan sudah mulai terik, tetapi dengan rute yang kami lewati lumayan mengurangi sinar matahari yang sedang centil-centilnya. Kebetulan cuaca kota Solo di bulan ke 11 ini memang layaknya 'mesin kukus' saking panasnya. Hujan yang mestinya datang hanya menghampiri beberapa kali tetapi lumayan deras dan memunculkan banyak genangan juga kenangan... *eh

Rute dari Gladag kami menuju Ketandan, kami melaju lurus dan harus berbagi jalan dengan banyak kendaraan yang sejurus. Sampai di sebuah gang kami berbelok menembus perkampungan daerah Gandekan, Kampung Sewu. Kegiatan hari minggu para penghuni kampung tidak beda, ada yang sudah rapi siap jalan bareng temen, ada yang sibuk kerja bakti, ada yang buka dhasaran jualan gorengan dan macamnya. Jadi rindu kampung ketika kecil dulu. Tak terasa kami sampai di kampung Beton, yang berada di pinggir sungai Bengawan Solo.

Konon Kampung Sewu memiliki beberapa dermaga di jaman VOC dulu, di antaranya adalah Putat dan Beton. Hal inilah yang menjadikan Kampung Sewu menjadi urat nadi perekonomian Kota Solo karena letaknya tidak jauh dari pusat kotaraja. Menurut sejarah, Pelabuhan atau dermaga Beton adalah titik ke 43 yang dimulai dari Surabaya. Tetapi jangan kecewa ya, karena tanda-tanda yang menunjukkan Beton sebagai salah satu dermaga sudah hampir tidak terlihat bahkan tidak ada. Seperti misalnya sebuah langgar kuno dan batu tempat singgah yang dulu digunakan oleh Pangeran Mangkubumi I. Karena terjadi proses alam seperti abrasi atau kikisan aliran sungai, maka situs-situs tersebut tak mampu diselamatkan, apalagi ketika Bengawan Solo banjir, airnya akan meluap tanpa ampun. Sekarang ini, Beton sudah bersolek, ada batu prasasti yang menandakan tentang Pelabuhan Beton masa silam. Taman dan dermaga baru dibangun. Tempat ini kadang menjadi titik hajatan Apem Sewu dan festival Gethek. 

Ngobrolin gethek, karena beberapa hari sebelum kami sampai di pinggir sungai ini, hujan deras membuat bengawan solo meluap, aliran derasnya menyapu jembatan sesek - jembatan yang dibuat dari anyaman bambu- hanyut. dengan hanyutnya jembatan yang vital karena menghubungkan dua desa sekaligus kabupaten yaitu Mojolaban, Sukoharjo. Karena inilah, gethek ini kembali beroperasi melayani penyeberangan. Sekali menyebrang cukup bayar 2000 rupiah saja. Dan sekedar cerita, rute naik gethek dan nyeberang jembatan sesek adalah rute favorit para pesepeda luar kota ketika ingin gowes eksplore Solo.

Kami diangkut gethek ke seberang dengan aliran bengawan Solo yang mulai menyusut debit airnya. Begitulah sungai Sala ini, ketika kering hanya sepinggang orang dewasa, tetapi ketika meluap, rumah pun mampu ia bawa hanyut sampai ke Mantingan, Jawa Timur. Sampai di Mojolaban, kami pancal pedal lagi menyusuri sawah-sawah yang mulai menguning. Jarak antara Gladag menuju finish melewati rute arah Bekonang itu sebenarnya hanya 12 Km, tetapi karena muter-muter dulu akhirnya ya sekitar 17 Km lah ya. Sebenarnya, kami pernah juga gowes finish 'Alaska' alias Alas Karet, Polokarto tengah tahun lalu, jarak tempuh 27 Km. Nah, yang ini di simpang jalan kami hanya berbelok ke kiri dan tak sampai 1 kilo tiba di tempat yang kami rencanakan, yaitu Cafe Minarets, Polokarto.

Sambil menunggu gerbang di buka, kami mencari angin di bawah pohon mangga. Jarak yang tak terlalu jauh, akan lebih menyenangkan ketika menjadi rute night ride. Begitulah gowes finish ngopi kami ke Polokarto.. 

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook