BROMPTON ATAU BROMNOT, AYO GOBAR!
“Waiki,
Bromptonnya baruuu,” begitu celetukan terdengar di sebuah
warung Ayam Geprek. Entah kenapa, tubuh saya refleks berputar mencari arah
suara. Lalu, saya melihat Sepeda Lipat yang rupanya bukan bermerk yang dimaksud
oleh suara samar itu. Nyengir deh saya. Ketipu. Seperti kelatahan khas
masyarakat kita yang hobi menyebut barang dengan merk popular. Menyebut Honda
untuk sepeda motor, meski motornya adalah Kawasaki, Yamaha, atau Suzuki. Beberapa
waktu lalu merk Sepeda Lipat Brompton sedang menjadi obrolan di linimasa medsos, juga media cetak. Tiba-tiba semua
orang kenal dengan Sepeda Lipat itu. Warganet akhirnya tahu, riwayat orang nomor
satu di perusahaan plat merah itu harus usai. Motor bermerk Harley Davidson
yang semula dianggap sparepart ternyata built in. Lalu ditemukan pula dua sepeda merk Brompton edisi Explorer yang belum lama ini diluncurkan
di London, menjadi barang bukti penyelundupan.
Saya
tidak akan mengulas kasus itu. Tapi hanya akan bercerita tentang “bawaan”
menarik dari kacamata seorang awam yang bersepeda, dan kebetulan kasus itu
telah membuat Brompton semakin hype. Di
kalangan pesepeda atau goweser,
terutama Sepeda Lipat, Brompton bukanlah merk yang asing. Kala bersepeda masih
tak memandang harga atau merk, suasananya amat menyenangkan. Sehat dapat,
persaudaraan makin erat, dengkul pun jadi kuat. Beberapa
hari ini pula ada obrolan-obrolan kecil yang muncul antara saya dengan beberapa
teman tentang ghirah-nya pesepeda
beberapa tahun ke belakang. Ternyata ada yang rindu masa-masa ketika para
pesepeda berkumpul dalam suatu acara, bersatu padu. Tanpa bertanya “sepedamu
apa?”. Lalu, sekitar tahun 2004 mulai ada kisah pesepeda yang bisa ikut naik
MRT dengan cara dilipat. Dan pemandangan ini semakin banyak ditemui, tak hanya
di MRT Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Acara sepeda bersama semakin
gencar, kemudahan membawa sepeda semakin luas.
Melihat
pasar Sepeda Lipat semakin besar, perusahaan lokal seperti Polygon, Wimcycle dan
United Bike ikut bermain dengan merk dan kelebihan masing-masing. Semakin ramai
peminat, semakin beragam merk tentunya. Dibanding 3 tahun lalu, merk baru di
jagad persepedaan sudah bermunculan. Dari sekian merk, hanya satu yang
terkadang masih menjadi impiansebagian besar pesepeda, yaitu Brompton. Tidak
semua, tetapi banyak! Dari
segi harga dan keunikan serta keringkasan dalam lipatan menjadi pertimbangan
seseorang untuk meminang sepeda ini. Sebenarnya jika mau jujur, ada yang lebih
mahal dari Brompton. Sebut saja Alex Moulton. Sama-sama dari Inggris, tetapi
dengan karakteristik berbeda. Alex Moulton konon sepeda yang dirakit dengan
tangan. Dalam artian pengerjaannya benar-benar handmade. Merk ini memang hanya kalangan goweser yang tahu karena bagi lifestyle
orang kita kurang ‘lucu’ dan ‘imut’.
Maret
2019 lalu, Will Butler-Adams, CEO Brompton, berkunjung ke Indonesia. Di Jakarta
ia sempatkan bersepeda bersama 700 pengguna sepeda Brompton. Antusiasme masyarakat Indonesia sangat tinggi
dan ini tak pernah ia bayangkan
sebelumnya. Indonesia menjadi pasar tertinggi dalam 3 tahun terakhir untuk Brompton. Sepeda lipat paling ringkas yang
diimpor langsung dari Inggris ini tentu saja membuat harganya menjulang tinggi.
Bisa jadi, agar tak kena bea masuk dan pajak, 2 unit Brompton lengkap dengan
aksesorinya nyelip di pesawat Garuda secara senyap.
Apakah
ada ekses lain selain Brompton menjadi lebih dikenal? Jelas ada! Mata maling
spesialis sepeda kini tahu mana yang layak dicuri. Bisa jadi lebih mudah
mencuri sepeda Brompton daripada sepeda motor yang lebih banyak ketahuannya dan
berakhir dihakimi massa. Maka, berhati-hatilah wahai pemilik sepeda Brompton!
Ancaman si panjang tangan serta rumor masuknya Brompton dalam SPT tahunan di
2020. Efek lainnya, harga seken Brompton
kian melangit! Ini sebuah keresahan ‘kecil’, yang ternyata diikuti pula dengan
kelucuan orisinilnya. Dari stiker bertulisan merk lain yang memiliki segi
lipatan mirip dengan Brompton, sampai pada stiker bertulis ‘Ini Brompton KW’ ,
hingga stiker iklan sedot WC yang menutup merk mentereng itu iseng dibuat untuk
melindungi miliknya. Inilah ciri masyarakat kita, setiap celah bisa buat
tertawa.Tapi apakah semua pecandu Brompton akan tega menempel stiker selain
itu? Saya rasa kok tidak, karena merk ini sudah menjadi identitas ‘kasta’ dan
‘gaya’. Apalagi saat ini banyak pejabat
dan selebriti memiliki sepeda ini. Wah, makin elit. Tetapi di lingkaran
pesepeda, Brompton tetaplah Sepeda Lipat yang bisa digenjot sejauh mana kakimu
mampu. Turunan melaju, tanjakan tak malu. Tidak berubah.
Cerita
Brompton sebenarnya tak hanya seputar harga dan prestisnya. Prestasi yang belum
lama dicatat oleh tim pesepeda asal Indonesia yang berjaya di Paris, Prancis.
Adalah Hendriyanto Wijaya dan Sandi Adila yang berhasil menempuh jarak 1.200 km
dalam waktu 82 Jam 53 menit, di ajang Paris-Breist-Paris, Agustus lalu. Even
endurance besutan Audax Club Parisen ini mereka hadapi dengan Brompton. Salah
satu cerita saja, bahwa Sepeda Lipat kini tak hanya untuk citybike atau sekadar komuter, dan itu mumpuni.
Lifestyle. Istilah yang semakin sering
kita dengar. Lifestyle untuk sehat
jelas bagus. Apalagi bagi generasi modern yang mudah ‘mager’ alias malas gerak.
Bagaimana tidak mager, mau jajan saja cukup sentuh telpon pintar dan pesan
antar makanan apa yang disuka? Nah, gaya hidup baru saat ini adalah bersepeda.
Saya salah satu yang ikut gembira dengan kegemaran baru itu. Meskipun sedih
juga karena gerakan moral yang sering kami lakukan untuk mengembalikan jalur
lambat dan menuntut jalur sepeda belum sepenuhnya terpenuhi. Hanya
saja fenomena gaya hidup bersepeda ini diikuti oleh prestise karena merk dan
harga sepeda yang dipakai. Akhirnya menjadi sehat yang ‘tertunda’. Tak ada yang
salah memang, jika ternyata seseorang hanya mengenal merk Brompton dan menjadi
fans beratnya kemudian beralih menjadi kolektor. Toh dia memang mampu untuk
itu. Tetapi ketika melaju di permukaan aspal, tetaplah dengkul dan uluk salam
yang menjadi andalan para pesepeda. Tidak lain!
Semangat
bersepeda sebenarnya tak lagi sekedar lifestyle.
Kebutuhan akan sehat, mengurangi kemacetan dan memunculkan keriaan ketika di
atas sadel adalah hal pentingyang perlu dicapai. Masih ingatkah para serombongan anak sekolah
yang memenuhi jalan bersepeda bersama teman, tertawa riang? Buruh perempuan
berduyun-duyun pulang naik sepeda selepas jam kerja, dengan suka cita. Masyarakat
kita, pernah punya gaya hidup seperti itu. Bersepeda kemana saja. Mindset sepeda bukan lagi barang mewah
membuat impian sebagian masyarakat bergeser. Motor dan mobil menjadi idaman. Tapi
bergulirnya kabar tentang harga sepeda yang satu ini, yang konon mencapai 50
juta lebih, masyarakat ternganga. Jadi impian baru? Bisa jadi. Ketika
sedang hype mungkin ada seorang
petinggi yang mimpi punya sepeda. Ajudannya mendapat tugas mencari sepeda yang
cocok dengan kedudukan si bos. Omong punya omong, yang penting sepeda mahal dan
bisa dilipat, Brompton jawabnya. Bisa jadi si petinggi itu tak paham bahkan
merknya pun ia tak pikir. Yang penting mahal dan cantik di pajang di
kantor. Nah, sebenarnya yang paling
penting dibutuhkan ketika bersepeda cuma satu; niat. Ketika niat datang apapun
akan terwujud. Termasuk ketika niat mau beli Brompton, tak perlu jauh-jauh ke
Singapura seperti dulu.
Lepas
dari itu semua, suasana keakraban ketika ‘gobar’ atau gowes bersama adalah keriaan
pada finish bersama, makan soto, dan teh hangat. Semua merk sepeda berbaur di
depan warung. Merk apapun sepedanya, makan soto semangkok tetap bayar 8 ribu,
teh panas 2 ribu, parkir gratis. Apapun
merk sepedamu, gowes bersama itulah yang kami rindu. Brompton atau
Brompnot, tetaplah properti yang instagramable...
Gangnam,
09/12/19
Yessita
Dewi
Goweser
dan penulis cerita